- Remaja Indonesia menanggung tiga beban masalah gizi, atau sering disebut triple burden malnutrition (TBMN).
- Satu dari empat remaja Indonesia yang berusia 13–15 tahun mengalami stunting, satu dari sebelas remaja kekurangan berat badan (kurus), dan satu dari tujuh remaja (14,8% atau 3,3 juta) mengalami kelebihan berat badan dan obesitas.
- Penyebab utama TBMN di antaranya ialah kemiskinan; kurangnya kebijakan pengembangan remaja dan infrastruktur program gizi sekolah untuk remaja; rendahnya kapasitas guru dan sistem penyampaian layanan.
- Sekitar 50% dari semua anemia disebabkan oleh kekurangan zat besi.
- Anemia mengakibatkan penurunan potensi kemampuan belajar pada anak-anak dan remaja karena perkembangan kognitif dan sosio-emosional yang melambat dan kesulitan dalam konsentrasi.
- Mengingat masih tingginya prevalensi anemia ibu hamil (lebih dari 40%) yang sebagian besar (85%) berumur 15 -24 tahun selama lebih dari 20 tahun terakhir, kiranya pemerintah lebih berkomitmen dan berintegritas dalam mengurus kesehatan ibu hamil.
Bukan hanya anak-anak Indonesia yang tidak beruntung, karena tingginya angka stunting (tumbuh kerdil), tetapi juga remajanya yang harus menanggung tiga beban masalah gizi, atau sering disebut triple burden malnutrition.
Remaja di Indonesia, mereka yang berusia antara 10 dan 19 tahun (versi UNICEF) mengalami kekurangan gizi (stunting dan kurus), kelebihan gizi (kelebihan berat dan kegemukan atau obesitas) dan defisiensi mikronutrien seperti zat besi yang menyebabkan anemia.
Hasil survei Riset Kesehatan Dasar Nasional (2018) menunjukkan bahwa beban kekurangan gizi di Indonesia cukup besar, yakni satu dari empat remaja yang berusia 13–15 tahun mengalami stunting (sekitar 26%), satu dari 11 remaja atau 9% kekurangan berat badan (kurus), dan satu dari tujuh remaja atau 14,8% (3,3 juta) mengalami kelebihan berat badan atau obesitas (UNICEF Indonesia, 2022).
Sementara itu, berdasarkan data UNICEF (2023) populasi remaja di Indonesia pada tahun 2021 mencapai 45,844 juta atau sebesar 17% dari total populasi dengan prevalensi kurus 10% (2016) dan kelebihan berat badan 14% (2016).
Selain itu, prevalensi anemia di kalangan remaja berusia 13 – 18 tahun mencapai 12,4% untuk anak laki-laki dan 22,7% untuk anak perempuan (Riskesdas, 2018). Tingginya anemi remaja putri ini dapat berlanjut ketika mereka hamil, dan ini akan menimbulkan masalah lagi karena zat besi yang tersedia akan menjadi rebutan untuk pertumbuhan janin dan ibunya sendiri. Kondisi ini akan meningkatkat risiko anak yang dilahirkan tumbuh kerdil atau stunting.
Penyebab dan Akar Masalahnya
Malnutrisi dapat terjadi karena kekurangan, kelebihan, atau ketidakseimbangan dalam asupan energi maupun nutrisi seseorang. Bentuk malnutrisi pada remaja antara lain stunting, kurus, kelebihan berat badan, obesitas, dan kekurangan zat gizi mikro.
Penyebab langsung dari tiga beban malnutrisi di kalangan remaja perempuan dan laki-laki di Indonesia telah ditemukenali, yaitu jumlah asupan makanan yang rendah, kualitas makanan yang buruk dan kurangnya aktivitas fisik.
Adapun penyebabnya jika ditinjau dari sisi tuntutan atau permintaan (demand side) kepada para remaja, karena ialah rendahnya kesadaran, efikasi diri dan motivasi; buruknya pilihan makanan, kebiasaan makan dan praktik kebersihan; norma sosial yang berbahaya termasuk citra tubuh; rendahnya akses ke sumber makanan, nutrisi dan pelayanan kesehatan yang ramah remaja; kurangnya aktivitas fisik; dan rendahnya partisipasi gizi sekolah oleh orang tua dan masyarakat.
Sedangkan penyebab lain ditinjau dari supply side atau di luar diri remaja ialah kurangnya pendidikan gizi di sekolah dan masyarakat; kurangnya layanan kebugaran fisik yang ramah remaja dan tanggap gender, kesehatan, dan cuci tangan, sanitasi serta higiene, lemahnya keterkaitan antara sekolah, masyarakat, fasilitas pelayanan dan rumah tangga.
Dari penyebab itu semua, tidak mudahlah mencari akar masalahnya karena malnutrisi yang terjadi tersebut bersifat berlawan, satu sisi kekurangan, dan sis lainnya kelebihan nutrisi dan / atau energi. Meskipun begitu, secara umum dapat ditarik akar masalahnya, yaitu kemiskinan; kurangnya kebijakan pengembangan remaja dan infrastruktur program gizi sekolah untuk remaja; rendahnya kapasitas guru dan sistem penyampaian layanan; buruknya koordinasi, kurangnya lingkungan yang mendukung.
1. Anemia Defisiensi Besi
Anemia merupakan indikator buruknya gizi dan kesehatan. Anemia adalah kondisi dalam darah ketika jumlah dan ukuran sel darah merah tidak mencukupi.
Sel darah merah mengandung protein hemoglobin kaya zat besi, yang diperlukan untuk mengangkut oksigen dari paru-paru ke sel dan jaringan. Ketika konsentrasi hemoglobin turun, kemampuan oksigen dalam darah menurun, yang mengakibatkan gejala-gejala seperti di antaranya kelelahan, penurunan kemampuan kerja fisik, dan sesak napas.
Anemia serta penurunan sel darah merah dan hemoglobin, dapat disebabkan oleh kehilangan darah, kerusakan sel darah, produksi sel darah yang tidak memadai atau kombinasi ketiganya.
a. Jenis Anemia
Terdapat beberapa jenis anemia, yaitu anemia defisiensi besi, defisiensi vitamin, hemolitik, aplastik, peradangan atau penyakit kronis. Anemia defisiensi besi adalah jenis anemia yang paling umum dan terjadi ketika kita tidak mendapatkan cukup zat besi. Diperkirakan itu 50 persen dari semua anemia disebabkan oleh kekurangan zat besi.
Anemia defisiensi vitamin disebabkan oleh kadar folat atau vitamin B12 yang lebih rendah dari normal. Jenis anemia ini biasanya disebabkan oleh asupan makanan yang rendah dari sumber nutrisi tersebut. Pada anemia hemolitik, sel darah merah dihancurkan lebih cepat daripada yang dapat diganti oleh tubuh. Anemia aplastik terjadi ketika sumsum tulang kita tidak menghasilkan cukup sel darah merah. Anemia peradangan atau penyakit kronis terjadi karena kondisi kesehatan tubuh mengalami peradangan.
b. Kriteria anemia
Kriteria anemia ialah kadar hemoglobin kurang dari normal sesuai usia, konsentrasi hemoglobin eritrosit rata rata < 31 % (nilai normal: 32-35%), kadar Fe serum 50 µg/dL (nilai normal: 80-180 µg/ dL) dan saturasi transferin 15 % (nilai normal: 20-25%). Secara terperinci kriteria anemia menurut WHO (2011) dapat dilihat pada Tabel 1.

c. Sintesis Hemogloblin
Sel darah merah diproduksi di sumsum tulang dan memiliki umur rata-rata 100 hingga 120 hari. Rata-rata, sumsum tulang menghasilkan 2 juta sel darah merah setiap detik, sementara jumlah yang kira-kira sama dikeluarkan dari peredaran. Sekitar 1% sel darah merah dikeluarkan dari sirkulasi dan diganti setiap harinya. Karenanya, keseimbangan antara produksi dan penghancuran sel darah merah ini menjadi penting, jika penghancurannya lebih lebih besar, dan / atau produksinya lebih kecil dapat menyebabkan anemia.
Besi ditransfer dari mukosa usus ke transferin dan dibawa melalui darah ke jaringan perifer yang mengandung tempat reseptor untuk transferin. Transferin disintesis di hati, otak, dan testis serta jaringan lainnya. Begitu zat besi masuk ke sel, ia dikelompokkan menjadi protein yang disebut feritin.
Ferritin adalah sejenis protein dalam tubuh, yang berfungsi mengikat zat besi. Sebagian besar zat besi yang tersimpan dalam tubuh terikat dengan protein ini. Ferritin banyak ditemukan di hati, limpa, otot rangka, dan sumsum tulang. Hanya sedikit ferritin yang ditemukan dalam darah.
Sebelum ke plasma, besi Fe2+ akan dioksidasi menjadi Fe3+ dan akan berikatan dengan transferin untuk digunakan dan disimpan di jaringan. Transferin memiliki dua tempat ikatan, masing – masing tempat akan mengikat satu atom besi. Fungsi transferin plasma berperan dalam transport besi ke sel melalui reseptor transferrin (TfR) dan mengikat besi sehingga turut mengurangi jumlah besi yang bisa menghasilkan radikal bebas dan mencegah efek toksik besi. Besi transferin ini selanjutnya akan memasuki sel target (terutama sel eritroid, sel imun, dan hepatosit) lewat proses endositosis melalui TfR. Di dalam sel target, Fe3+ direduksi menjadi Fe2+ oleh ferrireductase dan masuk ke sitosol lewat divalent metal transporter 1, dan TfR kembali ke membran sel dan transferrin kembali ke dalam sirkulasi. Produksi hemoglobin menjadi pengguna besi terbanyak (Gambar 1).

d. Kebutuhan mikronutrien harian dan anemia
Kebutuhan harian akan vitamin dan zat besi bervariasi menurut jenis kelamin dan usia. Wanita membutuhkan lebih banyak zat besi dan folat daripada pria karena kehilangan zat besi selama periode menstruasi dan perkembangan janin selama kehamilan.
Menurut National Institutes of Health, asupan zat besi harian yang direkomendasikan untuk orang dewasa berusia 19 hingga 50 tahun adalah sebagai berikut: Untuk pria 8 mg, wanita 18 mg, wanita hamil 27 mg dan wanita menyusui 9 mg. Orang yang berusia di atas 50 tahun hanya membutuhkan 8 miligram (mg) zat besi setiap hari.
Sumber zat besi makanan yang baik meliputi: hati ayam dan sapi, daging merah, seperti daging sapi, makanan laut, kacang-kacangan, kacang polong, dan bayam.
Folat adalah bentuk asam folat yang terjadi secara alami di dalam tubuh. Orang yang berusia di atas 14 tahun membutuhkan 400 mikrogram dari dietary folate equivalents (DFE) per hari. Jika Anda sedang hamil atau menyusui, asupan yang disarankan berturut-turut meningkat menjadi 600 mcg dan 500 mcg DFE per hari.
Contoh makanan yang kaya akan folat ialah hati sapi, kacang-kacangan, bayam, asparagus, dan telur.
Rekomendasi dewasa harian untuk vitamin B12 adalah 2,4 mcg, wanita hamil membutuhkan 2,6 mcg per hari, dan wanita menyusui memerlukan 2,8 mcg setiap hari. Sumber makanan terbaik untuk vitamin B12 ialah hati sapi dan kerang adalah dua sumber vitamin B12 terbaik. Sumber bagus lainnya termasuk: ikan, daging sapi dan unggas, telur, dan susu.
e. Tren Prevalensi Anemia pada Remaja Indonesia
Berdasarkan laporan dari Global Nutrition Report tahun 2022, Indonesia berada ‘di jalur’ yang benar dalan rangka perbaikan status gizi ibu, bayi, dan anak kecil secara keseluruhan. Hanya satu indikator yang tidak mengalami perbaikan, tetapi justru malah memburuk, yakni status anemia. Prevalensi anemia mengalami penurunan dari tahun 2000 sampai 2011 kemudian meningkat terus hingga tahun 2019 (Gambar 2).
Hingga tahun 2019, prevalensi anemia wanita usia subur yang berusia 15 sampai 49 tahun, baik wanita hamil maupun tidak hamil mencapai 31,2%, sedangkan wanita hamil saja mencapai 44,2% (Gambar 3). Anemia tersebut menggunakan standar konsentrasi hemoglobin kurang dari 120 g/L untuk wanita tidak hamil dan menyusui, dan kurang dari 110 g/L untuk wanita hamil.


Dari hasil survei riset kesehatan dasar tahun 2013, proporsi anemia ibu hamil sebesar 37,1% dan meningkat hingga 48,9% pada tahun 2018. Kajian lebih detail diketahui anemia ibu hamil kelompok umur 15-24 tahun menduduki urutan pertama sebesar 84,6%, sementara yang tidak anemia hanya 15,4%. Informasi ini juga betapa pentingnya kesehatan remaja putri dan pemudi yang menikah lebih dini karena lebih banyak menderita anemia.
f. Dampak Anemia pada Remaja Putri
Anemia mengakibatkan konsekuensi kesehatan yang buruk, termasuk penurunan potensi kemampuan belajar pada anak-anak dan remaja karena perkembangan kognitif dan sosio-emosional yang melambat dan kesulitan dalam konsentrasi.
Defisiensi zat besi mengakibatkan tumbuh kembang terganggu, gangguan kognitif belajar, penurunan fungsi otot yang imbas penurunan aktifitas fisik, yang pada gilirannya dapat menurunkan produktifitas, dan penurunan daya tahan tubuh sehingga meningkatnya risiko infeksi.
Anemia juga meningkatkan risiko penyakit dan kecacatan serta berakibat pada produktivitas yang buruk pada individu, berdampak negatif pada bagaimana remaja dapat berpartisipasi dan berkontribusi pada keluarga dan masyarakat. Dalam jangka panjang, hal ini menyebabkan kerugian yang signifikan terhadap kesejahteraan dan produktivitas ekonomi individu, masyarakat, dan negara.
Pada kehamilan remaja, anemia dapat berdampak buruk, dengan komplikasi pada ibu dan bayi yang dilahirkan. Bayi yang dilahirkan kemungkinan besar mempunyai cadangan zat besi yang sedikit atau bahkan tidak mempunyai persediaan sama sekali, sehingga akan mengakibatkan anemia pada bayi yang dilahirkan. Dampak anemia pada ibu hamil dapat diamati dari besarnya angkat kesakitan dan kematian maternal, peningkatan angka kesakitan dan kematian janin, serta peningkatan risiko terjadinya berat badan lahir rendah.
Baca juga: Diversifikasi Pangan Stagnan: Alarm Untuk Indeks Kelaparan Indonesia
g. Tidak Ada Komitmen dan Integritas?!
Tulisan ini tidak akan mengulas bagaimana solusinyanya, karena pemerintahan sudah menyediakan anggaran dan Kementerian Kesehatan RI (2018) telah memiliki Program Kerja dan Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Anemia pada Remaja Putri dan Wanita Usia Subur, dan Iron Deficiency Anaemia: Assessment, Prevention and Control dari WHO (2001), serta Social And Behaviour Change Communication Strategy: Improving Adolescent Nutrition In Indonesia dari UNICEF (2022). Selanjutnya, tinggal bagaimana berkomitmen untuk mau dan bersedia melakukan perbaikan terus-menerus (continuous improvement).
Meski begitu, secara ringkas upaya penanggulangan dan pencegahan anemia pada remaja dapat dilakukan: 1) Meningkatkan asupan makanan sumber zat besi; 2) Suplementasi zat besi dengan mengkonsumsi tablet tambah darah (TTD); 3) Meningkatkan konsumsi buah dan sayur sebagai sumber vitamin C; 4) Meningkatkan konsumsi sumber protein hewani; 5) Menghindari konsumsi teh dan kopi saat makan atau saat mengkonsumsi TTD; dan 6) Berolahraga atau beraktivitas fisik secara rutin.
Menyimak data prevalensi anemia wanita hamil Indonesia sejak tahun 2000 sampai 2019 (Global Nutrition Report, 2023) yang selalu berada di atas 40%, dan hasil Riskesdas tahun 2018 prevalensi ibu hamil sebesar 48,9% (jika ketemu 2 wanita hamil, 1-nya mengalami anemia), dan khususnya yang berusia 15-24 tahun menderita anemia sebanyak 85%, hal ini menunjukkan bahwa mereka berada pada masalah kesehatan masyarakat berat (severe public health problem) dengan batas prevalensi anemia lebih dari 40% (Kemenkes RI, 2013).
Artinya permasalahan anemia tersebut sudah termasuk kategori hal penting dan mendesak, tidak bisa ditunda-tunda lagi. Mengapa lebih dari 20 tahun lebih masih terjadi anemia setinggi itu? Singkatnya, pemerintah dan orang-orang yang mendapat amanah untuk mengurus kesehatan tersebut tidak memiliki komitmen dan integritas yang kuat?!
Kini kita dihadapkan pada masalah tingginya anemia ibu hamil, anak-anak stunting, dan remaja dengan triple burden malnutrition, bagaimana kualtas sumber daya manusia (SDM) Indonesia ke depan? Sementara itu, kualitas SDM, yakni manusia Indonesia yang unggul, berbudaya, serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi telah dijadikan pilar pertama dalam menuju Indonesia Emas tahun 2045. Jawabannya terdengar lirih nan sayup-sayup lantaran masih tertelan oleh hiruk pikuk hajadan pemenangan suara partai politik dan calon presidennya di Pemilu tahun 2024. Wallahu a‘lam bish-shawab.