Softdrink, molekul aspartam, and James
  • IARC menetapkan aspartam berpotensi karsinogenik bagi manusia dan masuk kelompok 2B, sementara JECFA menegaskan kembali asupan harian yang dapat diterima maksimal sebesar 40 mg/kg berat badan
  • Kita semua memiliki calon tumor, yang dapat kita ibaratkan sebagai “benih yang jahat.”
  • Aspartam ditemukan pada tahun 1965 oleh James M. Schlatter, ahli kimia, dari Brazil, ketika mencampur asam amino asparat dan fenilalanin untuk meneliti obat antiulcer.
  • Aspartam memiliki tingkat kemanisan 200 kali gula sukrosa dan telah digunakan pada berbagai makanan dan minuman di seluruh dunia.

Setelah melalui evaluasi yang mendalam, akhirnya pada 14 Juli 2023, Badan Internasional untuk Penelitian Kanker (IARC,  International Agency for Research on Cancer) di bawah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, World Health Organization) dengan Komite Pakar Bersama Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO, Food and Agricuture Organization) untuk Bahan Tambahan Pangan (JECFA, Joint Expert Committee on Food Additives) sepakat dan masing-masing menyampaikan rilisnya, yaitu: IARC menetapkan aspartam berpotensi sebagai penyebab kanker atau karsinogenik (possibly) bagi manusia dan termasuk di dalam klasifikasi grup 2B, sementara JECFA menegaskan kembali asupan harian yang dapat diterima maksimal sebesar 40 mg/kg berat badan.

Mengapa informasi tersebut penting?

WHO berkepentingan untuk turut melindungi kesehatan warga dunia. Mengingat aspartam telah banyak digunakan di seluruh dunia sebagai bahan tambahan pangan pada berbagai produk makanan dan minuman, antara lain minuman diet, permen karet, gelatin, es krim, produk susu seperti yogurt, sereal sarapan, pasta gigi dan obat-obatan seperti obat batuk dan obat kunyah, serta vitamin.

Selain itu, faktor makanan telah diakui berperan penting atas terbentuknya kanker. “Kanker adalah salah satu penyebab utama kematian secara global. Setiap tahun, 1 dari 6 orang meninggal karena kanker. Ilmu pengetahuan terus berkembang untuk menilai kemungkinan faktor pemicu atau pemicu kanker, dengan harapan dapat mengurangi jumlah ini dan jumlah korban manusia,” kata Dr. Francesco Branca, Direktur Departemen Nutrisi dan Keamanan Pangan, WHO.  

Di Indonesia, kanker merupakan salah satu masalah kesehatan terbesar, yaitu termasuk kelompok penyakit tidak menular yang merupakan penyebab kematian tertinggi kedua setelah penyakit kardiovaskuler. Berdasarkan data dari Globocan tahun 2020, suatu badan statistik kanker di bawah WHO, Indonesia dengan populasi yang lebih dari 273 juta, terdapat 396.914 kasus baru dengan jumlah kematian 234.511 jiwa. Dari jumlah kasus baru tersebut, secara umum jumlah laki-laki dan perempuan yang menempati posisi terbanyak ialah kanker payudara 16,6%, diikuti serviks 9,2%, paru-paru 8,8%, kolorektum  8,6% dan hati 5,4% , dan kanker jenis lainnya sebesar 51,4%.

Kita Semua Memiliki Calon Tumor

Penting untuk disadari bahwa pembentukan tumor (sel kanker jinak) adalah kejadian acak yang relatif sering terjadi di dalam kehidupan manusia. Studi patologi telah menunjukkan bahwa proporsi yang sangat besar dari orang-orang yang telah meninggal bukan oleh karena penyakit kanker, ternyata memiliki mikrotumor yang belum terdeteksi secara klinis di jaringan mereka (Béliveau & Gingras, 2017). Jadi, setiap manusia memiliki calon tumor, yang dapat kita ibaratkan sebagai “benih yang jahat”.

Pada prinsipnya terdapat 2 penyebab kanker yaitu karena faktor endogen (endogenous: berasal dari dalam diri seseorang) dan eksogen (exogenous: berasal dari luar diri seseorang). Yang termasuk endogen ialah mutasi gen yang diturunkan, stres oksidatif, inflamasi (peradangan), dan hormon, sedangkan yang termasuk eksogen ialah konsumsi tembakau, agen infeksi, radiasi, bahan kimia industri, dan zat karsiogenik di dalam bahan pangan (Yulianto, 2022 dalam Stop Kanker dengan Pangan Fungsional dan Nutrigenomik).

Mengingat kita memiliki mikrotumor, kini tinggal bagaimana agar “benih yang jahat” itu tidak diaktivasi atau dipantik oleh faktor-faktor penyebab kanker tersebut. Semakin tinggi paparan penyebab kanker semakin tinggi pula potensi terbentuknya sel kanker.

Evaluasi IARC dan JECFA

IARC dan JECFA telah melakukan tinjauan secara independen, namun saling melengkapi untuk menilai potensi bahaya karsinogenik dan risiko kesehatan lain yang terkait dengan konsumsi aspartam. Ini adalah pertama kalinya untuk IARC mengevaluasi aspartam dan ketiga kalinya untuk JECFA. Setelah meninjau literatur ilmiah yang tersedia, kedua evaluasi mencatat keterbatasan bukti yang tersedia untuk kanker (dan efek kesehatan lainnya).

IARC mengklasifikasikan aspartam sebagai kemungkinan karsinogenik bagi manusia (Grup 2B) berdasarkan bukti terbatas untuk kanker pada manusia (khususnya, untuk karsinoma hepatoseluler, yang merupakan jenis kanker hati). Ada juga bukti terbatas untuk kanker pada hewan percobaan dan bukti terbatas terkait dengan kemungkinan mekanisme penyebab kanker.

Evaluasi bahaya oleh IARC juga mempertimbangkan semua jenis paparan (misalnya, makanan, pekerjaan). Klasifikasi pada Grup 2B merupakan level tertinggi ketiga dari 4 level, dan umumnya digunakan baik ketika ada bukti terbatas, tetapi tidak meyakinkan untuk kanker pada manusia atau bukti meyakinkan untuk kanker pada hewan percobaan, tetapi tidak keduanya.

Sebagaimana ditunjukkan pada monograf klasifikasi bahaya untuk aspartam berada pada kelompok 2B yang memiliki tingkat bahaya mungkin karsinogenik bagi manusia dengan dukungan bukti terbatas untuk kanker pada manusia, dan cukup bukti pada hewan percobaan. Aspartam selevel dengan bahan buangan dari mesin bensin, paparan pekerjaan sebagai penata rambut atau tukang cukur, dan logam berat timbal (Pb).

Sementara itu, evaluasi dari JECFA dikemukan oleh Dr. Moez Sanaa, Head of the Standards and Scientific Advice on Food and Nutrition Unit, “JECFA juga mempertimbangkan bukti risiko kanker, dari hasil penelitian pada hewan dan manusia, dan menyimpulkan bahwa bukti hubungan antara konsumsi aspartam dan kanker pada manusia tidak meyakinkan,”.  JECFA menyimpulkan bahwa data yang dievaluasi menunjukkan tidak ada alasan yang cukup untuk mengubah asupan harian yang dapat diterima (ADI, Acceptable Daily Intake) yang telah ditetapkan sebelumnya sebesar 0–40 mg/kg berat badan untuk aspartam. ADI adalah jumlah maksimal bahan tambahan pangan dalam miligram per kilogram berat badan yang dapat dikonsumsi setiap hari selama hidup tanpa menimbulkan efek merugikan terhadap kesehatan.

Oleh karena itu panitia menegaskan kembali bahwa aman bagi seseorang untuk mengkonsumsi dalam batas tersebut per hari. Misalnya, dengan sekaleng minuman ringan diet yang mengandung 200 atau 300 mg aspartam, untuk orang dewasa dengan berat 70 kg (maksimal 2.800 mg) perlu mengonsumsi lebih dari 9–14 kaleng per hari untuk melebihi asupan harian yang dapat diterima, dengan asumsi tidak ada asupan lain dari sumber makanan lain. Konsumsi sebanyak itu per hari tentunya sudah berlebihan!

Sejarah, Sifat Kimia dan Fisik Aspartam

Aspartam ditemukan pada tahun 1965 oleh James M. Schlatter, ahli kimia, dari Brazil. Ia menerima gelar Magister kimia di Universitas Indiana pada tahun 1954. Beliau memperoleh senyawa ini sebagai bagian dari penelitian tentang obat antiulcer. Ketika Schlatter mencampurkan asam asparat dan fenilalanin, dua asam amino alami yang merupakan bahan penyusun protein, dia memasukkan jarinya ke dalam campuran dan karena alasan tertentu memutuskan untuk mencicipinya, “Aku menjilat jariku dan rasanya enak”. Dari situlah ia kembangkan, sebagai pemanis buatan rendah kalori.

Aspartam sebagai bahan tambahan pangan diproduksi besar-besaran mulai tahun 1981. Daya tarik aspartam sebagai pemanis ialah memiliki tingkat kemanisan sekitar 200 kali lebih manis dari gula sukrosa atau gula tebu, sedangkan nilai kalorinya pada konsentrasi yang cukup memberikan kesan manis, hampir sama dengan nol. Meski demikian, rasa aspartam tidak identik dengan gula pasir, rasanya membutuhkan waktu lebih lama untuk muncul, dan biasanya memiliki aftertaste.

Aspartam memliki rumus molekul C14H18N2O5, berat molekul 294,31 g/mol, penampilan bubuk kristal putih atau jarum, tidak berwarna, memiliki titik leleh 246–250 ºC, dan kelarutan dalam air pada pH 7 sebesar 10 g/L. Aspartam memiliki sinonim: Aspartyl phenylalanine methyl ester (APM); 3-Amino-N-(alphacarbomethoxy-phenethyl)-succinamic acid; N-L-alphaaspartyl-Lphenylalanine-1-methyl ester (Periksa gambar di atas).

Metabolisme Aspartam dan Fenilketonuria

Aspartam terdiri dari dua asam amino (L-fenilalanin dan asam L-aspartat). Senyawa ini dihidrolisis dan diserap di saluran pencernaan (GI) melalui aksi esterase dan peptidase. Pencernaan aspartam akan melepaskan metanol (10%), asam aspartat (40%) dan fenilalanin (50%), yang diserap melalui di mukosa usus (Choudhary dan Lee, 2018).   Produk metabolisme aspartam inilah yang diyakini lebih beracun daripada zat aslinya (Stegink, 1987). Pada dosis tinggi, metabolit tersebut dapat berbahaya. Metanol pertama-tama dioksidasi di hati menjadi formaldehida dan kembali menjadi asam format. Keberadaan metanol tersebut dapat merusak hati, demikian juga formaldehida dan format juga bertanggung jawab atas penghancuran sel-sel hati.  Pada orang-orang yang mengkonsumsi aspartam dalam jumlah besar, senyawa itulah yang menjadi sumber dari format yang signifikan, yang pada gilirannya berkontribusi pada perubahan fisiologis yang serius. Selain itu, terjadinya pembentukan superoksida dan hidrogen peroksida diketahui menyebabkan denaturasi protein dan perubahan aktivitas enzimatik yang terlibat berikutnya.

Selanjutnya, fenilalanin terutama akan dimetabolisme menjadi tirosin dan sejumlah kecil feniletilamin dan fenilpiruvat, sedangkan asam aspartat dimetabolisme menjadi alanin dan oksaloasetat. Yang terpenting, orang dengan fenilketonuria, kelainan genetik di mana pasien tidak dapat mengubah fenilalanin menjadi tirosin, harus menghindari aspartam. Fenilketonuria adalah penyakit resesif bawaan yang disebabkan oleh perubahan gen penyandi PAH (phenylalanine hydroxylase). Ketika PAH berfungsi dengan benar, enzim ini akan bertanggung jawab terjadinya transformasi Phe (Fenilalanin) menjadi Tyr (Tirosin) (Blau dkk., 2010). Namun, dalam kasus di mana PAH mengalami kekurangan, fenilalanin terakumulasi dalam darah dan otak, menyebabkan ruam eksim, defisit motorik, cacat intelektual ireversibel, kejang, masalah perkembangan, autisme, mikrosefali, perilaku menyimpang, dan gejala kejiwaan. Sayangnya, patogenesis disfungsi otak yang tepat tidak diketahui (de Groot dkk., 2010). Gejala tersebut dapat dihindari dengan menerapkan pola makan rendah fenilalanin sejak lahir.

Implikasi terhadap Industri dan Masyarakat di Indonesia

Dalam jangka pendek, pres rilis WHO tersebut nampaknya tidak banyak memberikan implikasi terhadap industri makanan dan minuman yang menggunakan aspartam sebagai bahan sebagai pemanis rendah kalori. Pasalnya, penggunaannya tidak melampai batas maksimal yang diijinkan.

Untuk jangka panjang, baik industri makan dan minuman, maupun masyarakat dapat menggunakan dan memilih bahan pemanis yang lebih aman dan menyehatkan.  Telah banyak pemanis alami alternatif yang tersedia misalnya, sorbitol, manitol, isomalt/isomaltitol, glikosida steviol (stevia), maltitol, laktitol, xilitol, dan eritritol. Meskipun demikian, penggunaan dan batas konsumsinnya tetap mematuhi aturan yang telah ditetapkan.

Jumlah konsumsi aspartam di Indonesia diatur melalui Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 11 Tahun 2019 tentang Bahan Tambahan Pangan. Aspartam termasuk pemanis buatan (artificial sweetener), pemanis yang diproses secara kimiawi, dan senyawa tersebut tidak terdapat di alam, memiliki INS (International Numbering System for Food Additives) 951 dan ADI sebesar 0 – 40 mg/kg berat badan.

Demikian pula untuk melindungi konsumen, penggunaan aspartam telah lama diatur melalui Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 033 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan, bahwa pada label sediaan pemanis buatan aspartam, wajib dicantumkan: a. peringatan, ”Mengandung fenilalanin, tidak cocok untuk penderita fenilketonurik”; dan b. tulisan “Tidak cocok digunakan untuk bahan yang akan dipanaskan”.

Dengan diumumkannya aspartam berpotensi karsinogenik ini kiranya masyarakat luas tidak perlu galau karena yang dikonsumsi secara normal tidak akan melampaui batas yang diijinkan. Justru sebaliknya, informasi dari WHO tersebut kita manfaatkan untuk menggugah kesadaran diri dengan menerapkan pola hidup yang lebih sehat dan waspada terhadap makanan dan minuman yang menggunakan tambahan bahan pangan, termasuk aspartam. Hindari konsumsi makanan yang tidak menyehatkan. Jangan membangunkan calon tumor “benih jahat” yang lagi tidur. Bagaimanapun tetap lebih bijak dengan menerapkan, “Pencegahan lebih baik daripada pengobatan.”

Referensi

  • Béliveau, R. and Gingras, D. 2017. Foods to fight cancer: What to eat to reduce your risk. Second edition. DK Publishing, New York.
  • Blau, N.; Van Spronsen, F.J.; Levy, H.L. Phenylketonuria. Lancet 2010, 376, 1417–1427. [CrossRef]
  • Choudhary, A.K.; Lee, Y.Y. The debate over neurotransmitter interaction in aspartame usage. J. Clin. Neurosci. 2018, 56. [CrossRef]
  • DASH.Havard.EDU. The History of Aspartame. https://dash.harvard.edu/bitstream/handle/1/8846759/Nill%2C_Ashley_-_The_History_of_Aspartame.pdf?sequence=3&isAllowed=y.
  • de Groot, M.J.; Hoeksma, M.; Blau, N.; Reijngoud, D.J.; van Spronsen, F.J. Pathogenesis of cognitive dysfunction in phenylketonuria: Review of hypotheses. Mol. Genet. Metab. 2010, 99. [CrossRef]
  • Globocan. 2020. Indonesia – Global cancer observatory. Accessed November 11, 2021. https://gco.iarc.fr/today/data/factsheets/populations/360-indonesia-fact-sheets.pdf
  • Stegink, L.D. The aspartame story: A model for the clinical testing of a food additive. Am. J. Clin. Nutr. 1987, 46, 204–215. [CrossRef] [PubMed]
  • Yulianto, W.A. 2022. Stop Kanker dengan Pangan Fungsional dan Nutrigenomik. Deepublish, Yoyakarta.

By Dr. Ir. Wisnu Adi Yulianto, MP

Dr. Ir. Wisnu Adi Yulianto, MP. Dosen Magister Ilmu Pangan (S2) dan Teknologi Hasil Pertanian (S1), Fakultas Agroindustri, Universitas Mercu Buana Yogyakarta. PangandanGizi.com : turut serta menyediakan informasi dan edukasi pangan dan gizi untuk meningkatkan kesehatan anak bangsa. Menjadi media komunikasi yang memberikan solusi terhadap permasalahan pangan dan gizi bangsa.

Daftar Isi