Foto: lampung.tribunnews.com
- Pembatasan kalori dan puasa intermiten dapat memperpanjang umur dan mengurangi risiko beberapa penyakit terkait penuaan.
- Belajar dari “Zone Blue” dan hadits: hindari makan berlebihan.
- Puasa intermiten dapat dimulai dari Puasa Putih (3 hari per bulan), lalu puasa Senin dan Kamis (8 hari per bulan), kemudian puasa Daud (15 hari per bulan).
- Manfaat kesehatan dari puasa intermiten: menurunkan berat badan, meningkatkan sensisivitas insulin, meredakan peradangan, meningkatkan kesehatan jantung dan otak, serta menghambat penuaan.
- Tidak direkomendasi puasa intermiten bagi orang kurus atau sangat kurus, kurang gizi dan defisiensi, ibu hamil atau menyusui, dan mengidap penyakit kronis.
“Hai orang orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa” (Q.S. Al Baqoroh: 183)
Berpuasa dimaksudkan untuk mencapai ketaqwaan yang sejati. Taqwa berarti melaksanakan segala perintah, dan meninggalkan segala larangan Allah. Nah, kalaupun itu memberikan manfaat bagi kesehatan, itu hanyalah bonus! Semakin banyak bonus semakin banyak bekal untuk berpuasa, dan berpuasa, dan demikian seterusnya.
Puasa telah dilakukan sejak nabi Adam a.s., dan diajarkan pula oleh agama Katolik, Kristen, Hindu dan Budha. Puasa yang dalam bahasa Arab disebut dengan shaum memiliki makna menahan diri dari pembatal tertentu, pada waktu tertentu (dimulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari), dan untuk orang-orang tertentu (yang diwajibkan berpuasa). Puasa, tidak hanya menahan makan dan minum, tetapi juga menahan pikiran, sikap, perilaku, dan perbuatan yang buruk.
Menahan lapar dan haus dalam kurun waktu tertentu telah memberikan manfaat kesehatan yang nyata. Intinya, makan lebih sedikit, dan bahkan makan pada waktu-waktu tertentu dalam sehari, memperlambat laju penuaan, memperpanjang umur, dan mengurangi risiko beberapa penyakit terkait penuaan. Makan lebih sedikit dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu pembatasan kalori, dan puasa.
Hasil Riset
Pembatasan kalori berarti makan lebih sedikit sepanjang waktu, sedangkan puasa berarti makan lebih sedikit, tetapi tidak sepanjang waktu, berjeda atau berselang atau sering disebut sebagai puasa intermiten. Dengan pembatasan kalori, seseorang hanya akan mengonsumsi 25% lebih sedikit kalori per harinya. Pembatasan kalori telah terbukti memperpanjang umur dan mengurangi risiko beberapa penyakit terkait penuaan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Colman dkk di Wisconsin National Primate Research Center, dan dipublikasikan pada jurnal Science pada tahun 2009, menunjukkan bahwa pembatasan kalori menunda kematian dan timbulnya penyakit pada monyet rhesus. Sampai dengan umur 33 tahun, hampir 60% monyet yang dibatasi konsumsi kalorinya yang dapat bertahan hidup, sementara hanya tinggal 20% monyet yang diberi kebebasan makan sebanyak yang mereka mau (kontrol). Penelitian tersebut juga menghasilkan temuan, pada titik waktu tertentu (sekitar 27 tahun), diketahui hewan yang dibatasi konsumsi kalorinya dapat bertahan hidup sebesar 80%, sementara yang diberi pakan dengan kontrol hanya bertahan hidup sebanyak 50%.
Hasil penelitian yang sejenis juga dilaporkan oleh Sogawa dan Kubo (2000), bahwa tikus yang berpuasa selama 4 hari berturut-turut setiap 2 minggu dapat hidup rata-rata 33% lebih lama, yakni 64 minggu, dibandingkan dengan 48 minggu untuk tikus yang tidak berpuasa. Manipulasi puasa berulang dalam jangka pendek juga efektif untuk memperpanjang umur hidup pada tikus yang rawan autoimun. Demikian juga, Goodrick, dkk (1982) melaporkan bahwa tikus yang berpuasa 2 hari sekali dapat hidup 83% lebih lama daripada tikus yang bisa makan kapan saja dan sebanyak yang mereka mau.

Meskipun hasil tersebut sangat signifikan, tetapi tidaklah mudah dalam penerapan metode pembatasan kalori tersebut, karena harus dilakukan selama bertahun-tahun atau bahkan seumur hidup! Ya, menderitalah, sementara hidup ini kita ingin bahagia! Pembatasan kalori dapat dilakukan dengan cara sederhana untuk makan lebih sedikit, misal berpuasa atau makan 2 kali sehari. Ini tidak hanya akan menghemat uang, tetapi juga waktu (mengurangi waktu memasak, mempersiapakan, dan makan). Satu lagi, cara pembatasan kalori memerlukan diet yang tepat, dan ini memerlukan ahli gizi, sama dengan mengeluarkan biaya lagi.
Belajar dari “Zone Blue” dan Hadits
Kita dapat belajar dari “Zone Blue”, yaitu wilayah di dunia dimana penduduknya hidup sangat sehat dan berumur panjang, yaitu Ikaria, Yunani; Okinawa, Jepang; Wilayah Ogliastra, Sardinia; Loma Linda, California; dan Semenanjung Nicoya, Kosta Rika. Komunitas “Zona Biru“ itu membanggakan, karena secara konsisten mencapai usia 100 tahun! Dan itu berarti, umur mereka berada di atas rerata umur penduduk di seluruh dunia. Rahasianya telah terungkap, bahwa masyarakat tersebut secara konsisten memperhatikan faktor gizi dan pola makan yang sehat, terutama menghindari makan berlebihan (misalnya berhenti makan saat perut sudah 80% kenyang).
Sesungguhnya sudah diajarkan pula di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, “Tiada tempat yang manusia isi yang lebih buruk daripada perut. Cukuplah bagi anak Adam memakan beberapa suapan untuk menegakkan punggungnya. Namun, jika ia harus (melebihinya), hendaknya sepertiga perutnya (diisi) untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga lagi untuk bernapas.” Lebih lanjut disampaikan oleh nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, “Cahaya hikmah adalah lapar, sedang perut yang kenyang jauh dari Allah … Janganlah engkau mengenyangkan perutmu, karena yang demikian itu akan memadamkan cahaya makrifat di dalam hatimu.”
Metode Puasa Intermiten
Puasa intermiten adalah pola makan yang bersiklus antara periode puasa dan makan. Cara ini tidak menentukan makanan mana yang harus kita makan, melainkan kapan kita harus memakannya. Dalam hal ini, ini bukanlah diet dalam pengertian konvensional, tetapi lebih tepat disebut sebagai pola makan.
Terdapat beberapa cara untuk melakukan puasa intermiten. Prinsipnya kita membagi hari atau minggu menjadi periode makan dan puasanya. Berikut metode yang paling popular, yaitu:
1. Metode 16/8: disebut pula protokol Leangains, metode ini melewatkan sarapan dan membatasi waktu makan harian selama 8 jam, misalnya antara pukul 13.00 siang dan 21.00 malam (boleh makan) dan kemudian berpuasa selama 16 jam sisa hari itu. Pengaturan waktu puasa dan makan tersebut sesungguhnya dapat fleksibel atau disesuaikan dengan kondisi tubuh masing-masing dan target yang ingin dicapai.
Sebagai pedoman dibutuhkan sekitar 12 hingga 24 jam puasa bagi tubuh manusia untuk mengalami penurunan gula darah (glukosa) yang tersimpan secara signifikan, yang mengubah keadaan metabolisme tubuh. Selanjutnya, tubuh akan menggunakan senyawa keton dan asam lemak bebas sebagai sumber energi utamanya, yang dikenal sebagai ketosis.
Puasa sesuai perintah agama Islam, untuk wilayah Yogyakarta, misalnya, pada 1 Juli 2023; mulai subuh (pukul 04.30) sampai maghrib (17.34) atau memiliki durasi 13 jam (lebih dari 12 jam). Meskipun di beberapa belahan bumi lainnya, puasa dapat lebih dari 16 jam. Puasa intermiten ini dapat dikerjakan sehari puasa sehari tidak, sebagaimana puasa yang dikerjakan oleh nabi Daud a.s.
Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada puasa yang lebih afdal dari puasa Daud“. (HR Bukhari dan Muslim). Puasa Daud berarti sudah berpuasa separuh tahun, karena sehari berpuasa dan sehari tidak berpuasa.
2. Metode 24/0 atau Eat-Stop-Eat. Puasa ini dikerjakan selama 24 jam, sekali atau dua kali dalam seminggu, misalnya dengan tidak makan, mulai dari selesai makan malam sampai makan malam keesokan harinya. Puasa ini dapat dikerjakan mulai jam 8 malam berpuasa dan berbuka jam 8 malam berikutnya. Misalnya, puasa Weton sehari penuh, sesuai dengan namanya, puasa kelahiran sehari penuh ini merupakan jenis puasa hari lahir yang dilakukan selama 24 jam. Jenis puasa ini kerap dilaksanakan oleh masyarakat Jawa. Puasa ini biasanya dilakukan satu hari sebelum hari kelahiran tiba hingga hari kelahirannya itu datang.
3. Metode 5:2: Dengan metode ini, kita hanya mengonsumsi makanan 500–600 Kalori pada 2 hari tidak berturut-turut dalam seminggu, tetapi makan secara normal pada 5 hari lainnya. Puasa ini seperti Puasa Senin dan Kamis, puasa kesukaan kanjeng nabi Muhammad SAW, yaitu puasa hari Senin dan Kamis (2 hari) dan 5 sisa hari lainnya tidak berpuasa atau makan normal.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam senang berpuasa pada hari Senin dan Kamis.” (HR. Tirmidzi no. 745 dan disahihkan al-Albani dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi). Rasulullah bersabda, “Amal-amal manusia diperiksa pada setiap hari Senin dan Kamis, maka aku menyukai amal perbuatanku diperiksa sedangkan aku dalam keadaan berpuasa.” (HR At-Tirmidzi dan lainnya).
4. Metode 30:3, atau puasa beberapa hari (prolonged fasting). Seseorang dapat berpuasa selama beberapa hari berturut-turut. Misalnya, berpuasa selama 2 hari setiap minggu, atau selama 3 hari setiap bulan (30 hari). Puasa ini juga sering dilakukan oleh masyarakat Jawa dengan puasa wetonan tiga hari adalah puasa yang dilakukan selama tiga hari dengan hari kelahirannnya yang diapit di tengah. Metode puasa 3 hari ini juga telah diajarkan dalam Islam:
Dari Abu Hurairah r.a berkata, “Kekasihku Rasulullah Saw. memberi wasiat kepadaku agar aku berpuasa tiga hari dalam setiap bulan, mendirikan shalat dhuha dua raka’at dan shalat witir sebelum aku tidur.” (HR. Bukhari).
Puasa ini dikenal sebagai Puasa Hari-hari Putih, yaitu puasa yang dilakukan pada tanggal 13, 14, 15 di bulan Hijriah. Puasa ini juga sering disebut dengan puasa ayyamul bidh (puasa putih), pasalnya, bulan tampak terang benderang menuju purnama dan menyerupai warna putih pada pertengahan bulan.
Bagaimana dengan Puasa Ramadan? Puasa wajib bagi umat Islam ini memiliki pola 29-30:0, artinya puasa penuh selama 29-30 hari (tanpa jeda) yang dikerjakan setiap tahunnya. Tentu saja, puasa ini sangat istimewa, lebih “nendang” karena metabolisme tubuh dapat mencapai fase autofagi dan ketosis yang sangat bermanfaat bagi kesehatan. Dua fase krusial dan utama tersebut akan dijelaskan pada tahapan metabolisme tubuh kita selama berpuasa di bab berikutnya. Dengan catatan, jangan sampai ketika ‘jendela makan’ dibuka lalu terjadi nafsu “balas dendam”, lepas kendali dengan makan berlebihan. Jika di awal puasa, kita berada pada kategori kelebihan berat atau obesitas (Tabel di bawah), dan di akhir puasa berat tubuh kita tidak berkurang, itu sunggu sangat disayangkan. Apalagi, malah bertambah beratnya, itu sungguh “ter-la-lu!”
Metode mana yang paling baik?
Itu sangat tergantung pada kemauan dan kemampuan diri masing-masing. Ingat, niat puasa itu untuk ibadah menuju ketaqwaan, bukannya sehat semata. Idealnya dapat dilakukan secara bertahap dari yang ringan menuju yang lebih berat, yaitu mulai dari puasa putih (3 hari per bulan), lalu puasa Senin dan Kamis (8 hari per bulan), kemudian puasa Daud (15 hari per bulan). Selain itu, pada puasa Senin dan Kamis, misalnya, durasi jamnya tidak 13 jam puasa, tetapi dapat ditambah menjadi 15-16 jam, dengan sahur saat shalat tahajud, saat sepertiga malam, mulai pukul 02.30. Dapat pula dimulai mau tidur pukul 22.00, dengan sudah berniat puasa dan tidak perlu sahur hingga mencapai durasi 19,5 jam berpuasa, toh hari berikutnya bisa makan, tidak lagi berpuasa.
Tahapan Puasa
Sangat menarik untuk mengetahui apa yang terjadi di tubuh kita selama berpuasa. Untuk memudahkan pemahaman terdapat 5 tahap perubahan selama puasa, yaitu:
Tahap 1: setelah makan 0 – 4 Jam, disebut fase anabolik.
Tahap ini merupakan fase pertumbuhan, karena tubuh menggunakan energi yang baru saja kita makan untuk energi dan pertumbuhan sel dan jaringan. Pankreas mengeluarkan insulin dan mulai menggunakan glukosa dalam aliran darah dan menyimpan kelebihan energi di sel tubuh kita.
Ada dua cara utama untuk menyimpan kelebihan energi. Yang pertama adalah mengubah energi menjadi glikogen, yaitu rangkaian molekul glukosa yang disimpan di hati dan otot. Ada batasan banyaknya glikogen yang dapat disimpan. Jadi jika masih ada kelebihan energi setelah simpanan glikogen penuh, maka pilihan kedua adalah tubuh menyimpan kelebihan tersebut sebagai lemak dalam bentuk trigliserida di jaringan adiposa (lemak) di bagian tubuh. Sayangnya, tidak ada batasan jumlah lemak yang bisa kita simpan. Karenanya, jika terus-terusan bikin kita obesitas atau kegemukan. Itulah akibat jika makan melulu (ngemil) sehingga kelebihan energi tersimpan dalam bentuk lemak tubuh.
Tahap 2, setelah 4 – 16 jam, disebut fase katabolik, dan dimulainya autofagi.
Tahap ini sumber energi dan simpanan glikogen dipecah dan digunakan untuk energi. Setelah simpanan itu habis, maka katabolisme tubuh beralih menggunakan lemak dan keton yang tersimpan sebagai sumber energinya – ini biasanya terjadi menjelang akhir 16 jam. Jadi, jika kita melakukan puasa intermiten dengan ‘jendela’ makan 8 jam dan puasa 16 jam, maka pada dasarnya kita tetap berada dalam dua kondisi ini untuk keseluruhan puasa.
Berapa lama untuk mencapai tahap pembakaran lemak di akhir fase 2? Ini sangat tergantung pada apa yang kita makan. Semakin tinggi diet karbohidrat dan pati, semakin lama waktu yang dibutuhkan untuk membakar simpanan tersebut dan mencapai tahap pembakaran lemaknya.
Itulah sebabnya disarankan untuk mengurangi asupan jumlah karbohidrat dan pati dari yang biasa kita maka agar membantu tercapainya pembakaran lemak lebih cepat. Saat berpuasa, tubuh beralih dari membakar glukosa (dalam aliran darah dan disimpan dalam sel dan hati) menjadi membakar lemak sebgai sumber energinya.
Hal lain yang sangat keren pada tahap 2 ini ialah berkurangnya zat pengatur tumbuh yang disebut mTOR (Mammalian target of rapamycin), dan ini membuka pintu ke proses yang disebut autofagi (“memakan dirinya sendiri”).
Berkat jasa Yoshinori Ohsumi, pemenang Nobel bidang fisiologi atau kedokteran tahun 2016, dan peneliti lain yang mengikuti jejaknya, kita sekarang mengetahui bahwa autofagi mengontrol fungsi fisiologis penting di mana komponen seluler yang perlu dihancurkan dan didaur ulang. Autofagi dapat dengan cepat menyediakan bahan bakar untuk energi dan ‘blok bangunan’ untuk pembaruan komponen seluler, dan oleh karena itu penting untuk respons seluler terhadap kelaparan dan jenis stres lainnya. Jika terkena infeksi, autofagi dapat menghilangkan bakteri dan virus intraseluler yang menyerang. Autofagi berkontribusi pada perkembangan embrio dan diferensiasi sel. Sel juga menggunakan autofagi untuk menghilangkan protein dan organel yang rusak, mekanisme kontrol kualitas yang sangat penting untuk menangkal konsekuensi negatif dari proses penuaan (Press release, The Nobel Assembly, 2016).
Autofagi, merupakan salah satu manfaat utama berpuasa, yakni pembersihan sel, yang membantu sel-sel tua dan tidak berfungsi untuk dibersihkan dan dikeluarkan dari tubuh. Fase ini sangat penting karena autofagi menghilangkan materi seluler yang dapat berkontribusi pada penuaan, kanker, dan penyakit kronis.
Tahap 3, setelah makan 16 – 24 jam, disebut fase pembakaran lemak utama, dan autofagi meningkat.
Tahap ini tubuh membakar simpanan lemak untuk memenuhi kebutuhan energi, karena sudah tidak memiliki glukosa yang tersisa. Fase ini juga memicu AMP (Adenosine Mono Phosphate)-activated protein kinase (AMPK), yang merupakan sensor status energi untuk mempertahankan homeostasis energi seluler. AMPK menekan ‘pedal gas’ pada autofagi dan autofagi benar-benar terjadi di dalam tubuh.
Tahap 4, setelah makan 24 – 72 jam, disebut ketosis.
Tahap ini sepenuhnya beralih ke pembakaran lemak untuk menghasilkan energi dan menghasilkan senyawa keton. Senyawa keton bertindak sebagai ‘bahan bakar’ untuk otak, karena ketersediaan glukosa sudah langka. Ketosis yang tepat hanya bisa kita capai setelah minimal 2-3 hari puasa. Tingkat keton dalam darah mulai meningkat lebih cepat dari itu, tetapi mencapai tingkat yang jauh lebih tinggi dan lebih ideal setelah setidaknya 2 hari puasa.
Hal lain yang sangat istimewa setelah puasa sekitar 24 jam ialah otak menghasilkan zat kimia yang disebut BDNF (Brain-derived neurotrophic factor), yaitu faktor neurotrofin yang berperan untuk mendukung pembentukan, perkembangan, dan mempertahankan keberadaan neuron, serta sangat penting di dalam memori jangka panjang, koordinasi, dan pembelajaran.
Beberapa peneliti menyatakan hal tersebut mungkin menjadi bagian penting mengapa puasa sangat efektif untuk mengurangi risiko penyakit Alzheimer seiring bertambahnya usia.
Tahap 5, setelah makan ≥ 72 Jam, semua manfaat dari tahap sebelumnya berlanjut dengan kecepatan eksponensial.
Selama puasa yang berlangsung lebih dari 72 jam, tubuh mengalami kondisi ketosis yang dalam, yang memperkuat semua tahapan sebelumnya. Kini tubuh memperoleh semua manfaat berupa penurunan berat badan, kesehatan metabolisme, dan umur panjang yang benar-benar bertambah seiring berjalannya waktu.
Kembali disampaikan, 5 tahapan tersebut untuk menjelaskan metabolisme apa yang terjadi pada tubuh kita, bukannya untuk menyarankan puasa sampai 3 hari atau lebih ini. Cukuplah kita memilih puasa dari 4 metode puasa tersebut di atas sesuai dengan kemampuan dan kemauan masing-masing, dan lakukanlah secara berulang.
Dengan puasa beberapa hari, kadar insulin dan glukosa tetap rendah dan tetap dalam kondisi ketosis yang stabil. Karena kekurangan nutrisi, hati mengurangi produksi IGF-1 (Insulin-like Growth Factor 1) yang memiliki peran penting dalam meregulasi metabolisme sel, pertumbuhan proliferasi dan apoptosis pada berbagai organ. Penurunan IGF-1 jangka pendek dikaitkan dengan stres oksidatif yang rendah dan kemungkinan antikanker dan antipenuaan. Puasa ≥ 72 jam juga terbukti meningkatkan respons tubuh terhadap paparan racun dan hormon stres.
Keuntungan Puasa Intermiten
Telah banyak studi yang membuktikan bahwa puasa intermiten memiliki manfaat yang jitu untuk mengontrol berat badan dan kesehatan tubuh dan otak. Bahkan dapat membantu hidup lebih lama. Berikut, manfaat kesehatan utamanya:
1. Penurunan berat badan. Seperti disebutkan di atas, puasa intermiten dapat membantu menurunkan berat badan dan lemak perut, tanpa harus secara sadar membatasi kalori (Welton dkk., 2020). Puasa intermiten dapat menjadi metode untuk penurunan berat badan yang sangat ampuh.
Adrienne dkk., (2014) melaporkan hasil penelitiannya, bahwa puasa intermiten sama efektifnya dengan pembatasan kalori untuk menurunkan berat badan dan perlindungan jantung. Pola makan ini dapat menyebabkan penurunan berat badan 3–8% selama 3–24 minggu. Selain itu, ditunjukkan terdapat kehilangan 4–7% dari lingkar pinggang, yang berarti secara signifikan juga mengurangi lemak perut yang menumpuk di sekitar organ tubuh. Studi lainnya menunjukkan bahwa puasa intermiten menyebabkan lebih sedikit kehilangan massa otot daripada metode standar pembatasan kalori terus menerus (Varady, 2011).
2. Meningkatkan sensitivitas insulin. Puasa intermiten dapat mengurangi resistensi insulin, menurunkan gula darah sebesar 3–6% dan kadar insulin puasa sebesar 20–31% (Adrienne dkk, 2014). Sebuah penelitian yang melibatkan sekelompok kecil pria obesitas dengan prediabetes yang dilakukan oleh Elizabeth dkk (2018) menunjukkan bahwa mereka yang melakukan puasa intermiten memiliki kadar insulin yang lebih rendah dan sensitivitas insulin yang meningkat secara signifikan. Ini berarti, puasa intermiten dapat membantu mencegah tipe 2 diabetes.
3. Meredakan peradangan: Beberapa penelitian menunjukkan penurunan penanda peradangan yang bertindak sebagai pendorong utama penyakit kronis. Peradangan kronis telah dikaitkan dengan penyakit jantung, kanker, diabetes, penyakit usus, dan radang sendi.
Sebuah studi pada darah dari 12 laki-laki, diketahui bahwa puasa intermiten dapat mempengaruhi beberapa proses peradangan (Jordan dkk., 2019). Puasa intermiten telah terbukti mengurangi penanda peradangan yang lebih efektif daripada strategi alternatif seperti pembatasan kalori. Saat metabolisme beralih ke pembakaran lemak dan produksi keton, maka tubuh akan mengaktifkan kembali jalur antiinflamasi yang dimatikan pada saat kondisi lagi kenyang.
4. Meningkatkan kesehatan jantung. Beberapa faktor risiko penyakit arteri koroner dan stroke mengalami penurunan, antara lain penurunan tekanan darah dan peningkatan sensitivitas insulin saat puasa (Mattson dan Wan, 2005). Puasa intermiten dapat mengurangi kolesterol LDL “jahat”, trigliserida darah, penanda peradangan, gula darah, dan resistensi insulin — semua faktor risiko penyakit jantung (Yang dkk., 2021).
5. Mencegah kanker: Dilaporkan oleh Sadeghian dkk. (2021), puasa berpotensi meningkatkan respon sel tumor terhadap kemoterapi dengan cara (a) memperbaiki kerusakan DNA pada jaringan normal (tetapi bukan sel tumor); (b) meningkatkan fluks autofagi sebagai perlindungan terhadap kerusakan organel dan beberapa sel kanker; (c) mengubah apoptosis (kematian sel secara terprogram yang terjadi secara normal) dan meningkatkan kepekaan sel tumor terhadap rangsangan apoptosis, dan mencegah kerusakan yang dimediasi oleh apoptosis pada sel normal; (d) berkurangnya sel T regulator dan meningkatkan stimulasi sel CD8; dan (e) mengakumulasi protein unfolded dan melindungi sel kanker dari pengawasan kekebalan.
Puasa intermiten dapat membantu mencegah kanker pada hewan coba tikus (Clifton dkk., 2021), meski belum sepenuhnya dieksplorasi atau dilakukan di antara manusia. Terlepas dari efek potensialnya, pasien kanker harus berkonsultasi dengan dokter atau praktisi kesehatan, sebelum mereka berpuasa, karena mungkin tidak aman bagi individu yang kekurangan gizi, bagi mereka yang menderita penyakit kronis, atau bagi mereka yang menderita cachexia kanker (kelemahan dan kurus karena penyakit kronis yang parah).
6. Meningkatkan kesehatan otak. Puasa intermiten meningkatkan hormon otak BDNF dan dapat membantu pertumbuhan sel saraf baru (Lee dkk., 2000). Puasa intermiten juga mencegah kehilangan memori jangka pendek dan khusus. Dilaporkan oleh Shin dkk. (2018), puasa intermiten dapat mencegah beberapa patologi metabolik yang terkait dengan menopause dan melindungi dari penurunan daya ingat yang berkaitan dengan usia, serta dapat melindungi dari penyakit Alzheimer. Hasil penelitian Dias dkk. (2021) telah membuktikan diet dengan pembatasan kalori dapat meningkatkan fungsi memori, dan meningkatkan proses pembelajaran pada tikus.
7. Menghambat penuaan. Puasa intermiten dapat memperpanjang umur pada monyet dan tikus. Studi menunjukkan bahwa tikus yang berpuasa intermiten dapat hidup 36-83% lebih lama sebagaimana telah dikemukan di atas.
Yang Tidak Direkomendasi Berpuasa
Meskipun puasa memiliki banyak manfaat, tetapi sangat tidak direkomendasi atau tidak boleh berpuasa, jika:
• Terlalu kurus atau kurus atau mudah kehilangan berat badan terlalu banyak. Indeks massa tubuh (Body Mass Index, BMI) dapat digunakan sebagai indikator untuk klasifikasi berat badan orang dewasa. BMI didefinisikan sebagai berat badan dalam kilogram dibagi dengan kuadrat tinggi badan dalam meter (kg/m2). Contoh, orang dewasa yang beratnya 65 kg dan tingginya 1,65 m, maka memiliki BMI 23,88. Rentang referensi yang berbeda telah diusulkan untuk populasi Asia. Jika rentang ini berbeda dari definisi WHO, rentang tersebut harus digunakan sebagai pedoman. Klasifikasi internasional orang dewasa kurus, kelebihan berat badan dan obesitas menurut BMI disajikan pada tabel (bawah ini). Adapun skor BMI dalam bentuk grafik hubungan berat tubuh (kg dan lb) dengan tinggi tubuh (cm dan ft) ditunjukkan pada gambar (bawah ini).

Selain kategori BMI, WHO merekomendasikan untuk menjaga lingkar pinggang di bawah 94 cm (37 inci) untuk pria dan 80 cm (31,5 inci) untuk wanita (berdasarkan data dari orang Eropa). Nilai-nilai ini kira-kira setara dengan BMI sekitar 25 kg/m2. Untuk populasi Asia, ukuran untuk lingkar pinggang di bawah 90 cm (35,4 inci) untuk pria dan 80 cm (31,5 inci) untuk wanita telah diusulkan.
• Kurang gizi dan defisiensi mikronutrien
• Memiliki penyakit kronis
• Merasa lemah atau menderita kesehatan yang kurang optimal
• Minum obat yang dapat mengganggu puasa, terutama yang menurunkan elektrolit
• Sedang hamil atau menyusui
• Di bawah delapan belas tahun (kecuali untuk puasa wajib, dan tidak termasuk kriteria tersebut di atas).
Peringatan penting
Kebanyakan puasa yang dikerjakan masyarakat masih dalam peringkat ‘awam’, hanya memenuhi kewajiban puasa saja. Mereka pun masih menganut pola konsumsi makan (saat tidak berpuasa) yang cenderung berlebihan atau semakin ditingkatkan, baik kualitas mapun kuantitasnya, sementara aktivitas fisik dikurangi. Akibatnya, malah cenderung terjadi kenaikan kadar gula darah, kolesterol dan trigliserida saat berpuasa (Wahjoetomo, 1997). Bahkan, dengan berpuasa justru naik berat badannya! Maka sebagai petunjuknya, saat berbuka puasa intermiten dan ‘jendela’ makan dibuka cukuplah makan secara normal seperti biasa. Intinya jangan sampai asupan kalori yang masuk ke tubuh kita lebih besar daripada energi yang dikeluarkan untuk beraktivitas. Seperti untuk puasa sunnah Senin dan Kamis, cukup sahur dengan satu buah pisang, atau dua lembar roti tawar, dan air putih.
Penutup
Akhirnya, meskipun puasa intermiten dapat memberikan banyak manfaat kesehatan, menunda penuaan dan memperpanjang umur, tetaplah ingat bahwa “man proposes but God disposes”, serta percaya bahwa umur (kematian) merupakan takdir dari Allah. Meski begitu, karena kita pun diwajibkan berusaha untuk sehat, maka “Berpuasalah kamu, niscaya kamu sehat” (H.R. Imam At-Thabrani).
Referensi
- Adrienne R. Barnosky, Kristin K. Hoddy, Terry G. Unterman, Krista A. Varady. (2014). Intermittent fasting vs daily calorie restriction for type 2 diabetes prevention: a review of human findings, Translational Research, 164 (4): 302-311.
- Clifton, K. K., Ma, C. X., Fontana, L., & Peterson, L. L. (2021). Intermittent fasting in the prevention and treatment of cancer. CA: a cancer journal for clinicians, 71(6), 527–546.
- Dias, G.P., Murphy, T., Stangl, D. et al. (2021). Intermittent fasting enhances long-term memory consolidation, adult hippocampal neurogenesis, and expression of longevity gene Klotho. Mol Psychiatry 26, 6365–6379 (2021).
- Elizabeth F. Sutton, Robbie Beyl, Kate S. Early, William T. Cefalu, Eric Ravussin, Courtney M. Peterson. (2018). Early Time-Restricted Feeding Improves Insulin Sensitivity, Blood Pressure, and Oxidative Stress Even without Weight Loss in Men with Prediabetes, Cell Metabolism, 27 (6): 1212-1221.
- Goodrick, C. L., Ingram, D. K., Reynolds, M. A., Freeman, J. R., & Cider, N. L. (1982). Effects of intermittent feeding upon growth and life span in rats. Gerontology, 28(4), 233–241.
- Gunnars, K. 2023. Intermittent Fasting 101 — The Ultimate Beginner’s Guide. Diakses 5 juli 2023 dari https://www.healthline.com/nutrition/intermittent-fasting-guide#should-you
- Jordan, S., Tung, N., Casanova-Acebes, … Merad, M. (2019). Dietary Intake Regulates the Circulating Inflammatory Monocyte Pool. Cell, 178(5), 1102–1114.
- Lee, J., Duan, W., Long, J. M., Ingram, D. K., & Mattson, M. P. (2000). Dietary restriction increases the number of newly generated neural cells, and induces BDNF expression, in the dentate gyrus of rats. Journal of molecular neuroscience: MN, 15(2), 99–108.
- Mattson, M. P., & Wan, R. (2005). Beneficial effects of intermittent fasting and caloric restriction on the cardiovascular and cerebrovascular systems. The Journal of nutritional biochemistry, 16(3), 129–137.
- Sadeghian, M., Rahmani, S., Khalesi, S., & Hejazi, E. (2021). A review of fasting effects on the response of cancer to chemotherapy. Clinical nutrition (Edinburgh, Scotland), 40(4), 1669–1681.
- Shin, B. K., Kang, S., Kim, D. S., & Park, S. (2018). Intermittent fasting protects against the deterioration of cognitive function, energy metabolism and dyslipidemia in Alzheimer’s disease-induced estrogen deficient rats. Experimental biology and medicine (Maywood, N.J.), 243(4), 334–343.
- Sogawa, H., and Chiharu Kubo,C. 2000. Influence of short-term repeated fasting on the longevity of female (NZB×NZW)F1 mice, Mechanisms of Ageing and Development,115,1–2: 61-71.
- The Nobel Assembly at Karolinska Institutet. 2016. Press release. The Nobel Assembly at Karolinska Institutet has today decided to award the 2016 Nobel Prize in Physiology or Medicine to Yoshinori Ohsumi for his discoveries of mechanisms for autophagy. Diakses 5 Juli 2023 dari https://www.nobelprize.org/prizes/medicine/2016/press-release/
- Varady K. A. (2011). Intermittent versus daily calorie restriction: which diet regimen is more effective for weight loss?. Obesity reviews : an official journal of the International Association for the Study of Obesity, 12(7), e593–e601.
- Wahjoetomo. 1997. Puasa dan Kesehatan. Gema Insani Press. Jakarta.
- Welton, S., Minty, R., O’Driscoll, T., Willms, H., Poirier, D., Madden, S., & Kelly, L. (2020). Intermittent fasting and weight loss: Systematic review. Canadian family physician Medecin de famille canadien, 66(2), 117–125.
- World Health Organization, 2006. Global database on body mass index. Diakases 15 Maret 2022 dari http://www.assessmentpsychology.com/icbmi.htm
- Yang, F., Liu, C., Liu, X., Pan, X., Li, X., Tian, L., Sun, J., Yang, S., Zhao, R., An, N., Yang, X., Gao, Y., & Xing, Y. (2021). Effect of Epidemic Intermittent Fasting on Cardiometabolic Risk Factors: A Systematic Review and Meta-Analysis of Randomized Controlled Trials. Frontiers in nutrition, 8, 669325.