Tahun 2018 ini dikenal sebagai tahun Pilkada, karena akan dilakukan Pilkada serentak di sebanyak 171 daerah di Indonesia. Dari 171 daerah tersebut, terdapat 17 provinsi, 39 kota, dan 115 kabupaten, di antaranya termasuk provinsi besar yakni, Jawa Barat. Ada satu permasalahan penting di daerah-daerah yang kurang menjadi perhatian calon kepala daerah, baik tingkat provinsi maupun kabupaten, yaitu tingginya angka stunting (pertumbuhan kerdil) balita (bawah lima tahun).
Berdasarkan hasil riset kesehatan dasar tahun 2013, prevalensi stunting balita Indonesia mencapai 37,2% dan di tahun 2016 sebesar 36,4% (FAO, 2017). Itu berarti hanya mengalami penurunan sebesar 0,8% selama 3 tahun. Jumlahnya sekitar 8,8 juta jiwa atau sekitar dua kali jumlah penduduk di provinsi Bali. Jumlah tersebut tak lepas akibat dari prevensi kekurangan gizi (undernourishment) kita di tahun 2016 setinggi 7,9% atau 20,3 juta atau sekitar 2 kali jumlah penduduk Daerah Khusus Istimewa Jakarta. Jumlah yang sangat besar!
Intervensi gizi spesifik yang ditujukan kepada anak dalam 1.000 hari pertama kehidupan dan sensitif seperti kegiatan penyediaan sanitasi dan air bersih, fortifikasi bahan pangan, layanan kesehatan dan keluarga berencana, jaminan kesehatan nasional dan persalinan universal, pendidikan pengasuhan pada orang tua, anak usia dini, gizi masyarakat, kesehatan seksual, reproduksi, dan gizi pada remaja, bantuan dan jaminan sosial bagi keluarga miskin, serta peningkatan ketahanan pangan dan gizi. Sayangnya, ketahanan pangan kita hingga kini masih lemah. Berdasarkan laporan The Economist Intelligence Unit didalam Global Food Security Index (GFSI) 2017, Indonesia menempati peringkat 69 (skor 51,3, skala 0-100, 100 = sangat baik) dari 113 negara yang disurvei, yang berarti hanya sedikit perbaikan dibanding tahun sebelumnya (2016) yang menempati posisi 71 (skor 50,6). Lemahnya kondisi ketahanan pangan kita diantaranya disebabkan oleh rendahnya ketersediaan zat besi dari hewani dan nabati, diversifikasi diet dan kualitas protein. Negeri kita yang memiliki wilayah sekitar dua per tiga berupa perairan yang kaya akan ikan dan hasil laut lainnya, haruskah masih kekurangan protein?
Menurut Laporan Tahunan Badan Ketahan Pangan tahun 2016 ( Kementerian Pertanian 2017), ketersediaan kalori dan protein tahun 2016 berturut-turut sebesar 4.017 Kkal per kapita sehari dan 83,07 g per kapita sehari, sedangkan konsumsi kalori dan proteinnya berturut-turut sebesar 2.037,40 Kkal per kapita sehari, dan 56,67 g per kapita sehari (BPS, 2016). Pada tahun berikutnya, konsumsi kalori dan protein berturut-turut sebesar 2.152,64 Kkal per kapita sehari, dan 62,20 g per kapita sehari (BPS, 2017). Berdasarkan angka kecukupan energi dan protein yang dianjurkan bagi bangsa Indonesia ditetapkan berturut-turut sebesar 2.150 Kkal dan 57 g (Peraturan Menteri Kesehatan RI nomor 75 th 2103).
Dengan demikian, sesungguhnya ketersediaan energi dan protein secara nasional itu sangatlah mencukupi. Tetapi, kenyataannya pada tahun 2016 konsumsi jumlah energinya masih di bawah dari yang dianjurkan (< 2.150 Kkal). Hal inilah yang menyebabkan tingginya angka kurang gizi atau undernourishment (kurang energi). Demikian juga, konsumsi protein pada tahun 2016 masih sedikit di bawah standar yang dianjurkan, dan membaik pada tahun 2017 yang dapat mencapai 62,20 g per kapita sehari. Dengan tersedianya energi dan protein secara nasional tersebut, maka yang perlu ditingkatkan ialah kemudahan akses dan distribusi pangan yang dapat terjangkau di seluruh wilayah nusantara, termasuk keterjangkauan harganya.
Tantangan Calon Kepala Daerah
Kerangka intervensi untuk stunting sudah disiapkan, permasalahan kurang gizi, khususnya kalori, zat besi dan protein telah dikemukakan. Kini yang dibutuhkan ialah komitmen dari para kepala daerah. Apalagi tahun ini akan diselenggarakan Pilkada, sungguh momen yang baik bagi calon kepala daerah untuk berkomitmen, berdedikasi, beramal untuk menyelamatkan puluhan ribu anak balita stunting menuju sehat dan membebaskan ratusan juta warga miskin menuju sejahtera. Oleh karena itu, paparan pada data tersebut tidaklah dimaksudkan untuk menunjukkan kinerja kepala daerah yang buruk, tetapi lebih ditujukan potensi limpahan ladang amal untuk mengentaskan puluhan ribu anak balita stunting dan ratusan ribu penduduk miskin. Karena, siapa pun bupatinya akan menghadapi masalah yang tidak mudah untuk diatasi. Indonesia sendiri telah bergabung dengan Gerakan Scale up Nutrition (negara-negara yang penduduknya mengalami kekurangan gizi) sejak 22 Desember 2011, nyatanya hingga kini angka anak balita stunting kita masih tinggi, yakni 36,4%. Lalu, bagaimana dengan target tahun 2025 yang oleh World Health Assembly dari WHO yang telah menetapkan penurunan sebesar 40% anak balita stunting dari tahun 2012? Berdasarkan pengamatan tahun-tahun sebelumnya target itu (menjadi 21,84%) terasa sangat berat jika tidak diikuti gerakan bersama yang masif.
Akhirnya, titip pesan buat calon kepala daerah, terutama calon bupati – bupati dan gubernur di provinsi Jawa Barat: turunkan angka stunting!
*Artikel telah dimuat di Koran Sindo, 19 April 2018.