Sumber foto : Maritimnews
- FAO tahun 2017 melaporkan status ketahanan pangan dan gizi Indonesia mendapat nilai merah, khususnya pertumbuhan kurus anak bawah lima tahun (balita) pada usianya (wasting), pertumbuhan kerdil anak balita (stunting), dan kelebihan berat badan anak balita.
- Ketahanan pangan masih lemah khususnya untuk indikator kecukupan pasokan pangan yang relatif rendah (skor 38,1), ketersediaan zat besi dari hewani dan nabati, serta kualitas protein yang rendah.
“Bukan lautan hanya kolam susu, kail dan jalan cukup menghidupimu,tiada badai tiada topan kau temui, ikan dan udang menghampiri dirimu … Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman”.
Penggalan lirik lagu Kolam Susu oleh Koes Plus tersebut, menggambarkan betapa subur dan kayanya tanah air kita. Sayangnya, laporan dari Food and Agriculture Organization (FAO) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), di dalam The State of Food Security and Nutrition in the World 2017, tidaklah merepresentasikan kekayaan sumber pangan di Indonesia. Status ketahanan pangan dan gizi Indonesia mendapat nilai merah, yakni pertumbuhan kurus anak bawah lima tahun (balita) pada usianya (wasting), pertumbuhan kerdil anak balita (stunting), dan kelebihan berat badan anak balita (Tabel 1). Status tersebut akibat dari kekurangan pangan atau gizi berkepanjangan. Tentu saja, dampaknya akan mempengaruhi kualitas sumber daya manusia Indonesia di masa mendatang.
Angka-angka tertera pada tabel tersebut menantang kita agar ketahanan pangan dan gizi kita segera diperkuat dengan langkah-langka nyata. Semestinya juga segairah membangun infrakstruktur di seluruh penjuru nusantara. Mengapa? Memperbaiki jaringan atau sel-sel otak tidak semudah memperbaiki jaringan listrik atau jembatan jalan yang putus. Keterlambatan karena kekurangan gizi, terutama pada 1.000 hari pertama kehidupan, yaitu sejak dari janin sampai berumur 2 tahun, tidak hanya akan mempengaruhi fisik, tetapi juga perkembangan kognitif yang pada gilirannya juga akan berpengaruh pada kecerdasan dan ketangkasan berpikir, serta produktivitas kerja.
Kekurangan gizi pada masa tersebut juga berkaitan dengan risiko terjadinya penyakit kronis pada usia dewasa, seperti kegemukan, penyakit jantung dan pembuluh darah, hipertensi, stroke, dan diabetes (Peraturan Menteri Kesehatan RI no 41 tahun 2014 tentang Pedoman Gizi Seimbang). Bahkan, mereka yang kurang gizi dapat memiliki perilaku yang buruk, seperti agresif, suka tindak kekerasan, ataupun berperilaku menyimpang. Masih ingat Sumanto, Si Pemakan Daging Manusia? Jika ditilik masa lalunya, kehidupannya yang kesrakat (miskin dan sengsara), ia kurang makan!
Ketahanan Pangan yang Lemah
Melalui penjelasan tersebut, sesungguhnya telah disadari sepenuhnya oleh Menteri Kesehatan, dampak dari kekurangan gizi bagi bangsa Indonesia. Tetapi mengapa angka prevalensi wasting dan stunting masih tinggi? Untuk dapat menjawab hal tersebut, setidaknya kita melongok kondisi ketahanan pangan kita. Berdasarkan laporan The Economist Intelligence Unit didalam Global Food Security Index (GFSI) 2017, negeri kita menempati peringkat 69 (skor 51,3, skala 0-100, 100 = sangat baik) dari 113 negara yang dikaji, yang berarti ada sedikit perbaikan dibanding tahun sebelumnya (2016) yang menempati posisi 71 (skor 50,6). Ketahanan pangan kita lebih baik daripada Filipina, Myanmar, dan Laos, tetapi masih di bawah Singapura (peringkat 4, skor 84), Thailand dan Vietnam.
Pengukuran indeks tersebut menggunakan 3 kriteria, yaitu keterjangkauan (affordability), ketersediaan (availability) dan kualitas dan keamanan panagn (quality and safety). Catatan penting dari laporan GFSI 2016 ialah terkuaknya kelemahan ketahanan pangan bagi bangsa Indonesia. Indikator kelemahan ketahanan pangan kita ditunjukkan dengan skor < 25, diantaranya ialah pengeluaran publik untuk riset dan pengembangan pertanian (0), pendapatan domestik bruto / kapita (7,3), ketersediaan zat besi dari hewani (15,3) dan zat besi dari nabati (17,5), diversifikasi diet (17,9), dan kualitas protein (20,1).
Diversifikasi diet kita memiliki skor yang rendah, meskipun banyak kebijakan, peraturan, dan rencana aksi telah disiapkan, bahkan sudah dilaksanakan. Tetapi mengapa, program tersebut belum juga berhasil? Nampaknya, ada satu hal yang terlupakan, yaitu masih minimnya keteladanan dalam menjalan program penganekaragaman pangan tersebut. Sudahkah mulai dari pimpinan teratas sampai terendah di pemerintahan kita memberikan keteladanannya dalam kesehariannya? Kegiatan tersebut perlu gerakan bersama dan berkelanjutan. Tidak cukup hanya dengan seremoni atau aksi one day no rice, atau kegiatan sesaat pada peringatan hari pangan atau sejenisnya.
Status kurang pangan, wasting dan stunting merupakan cerminan dari kondisi ketahanan pangan Indonesia, khususnya pada indikator kecukupan pasokan pangan yang relatif rendah (skor 38,1), ketersediaan zat besi dari hewani dan nabati, serta kualitas protein yang rendah. Untuk pemenuhan protein dan zat besi, kita wajib mendukung program pemerintah melalui gemarikan (gerakan memasyarakatkan makan ikan). Selain kaya protein, ikan juga sebagai sumber zat besi yang baik. Konsumsi ikan masyarakat Indonesia pada tahun 2016 hanya sebesar 43,88 kg/kapita/tahun. Konsumsi tersebut masih lebih rendah dibanding di Singapura, Malaysia, dan Jepang, yang berturut-turut mencapai 48,9, 56,2, dan 100 kg/kapita/tahun (Nauli, 2017). Selain sebagai sumber protein dan zat besi, ikan juga kaya zat yodium dan asam lemak omega 3 yang baik untuk meningkatkan kecerdasan otak.
Akhirnya, meski banyak pekerjaan rumah, dengan semangat bekerja, bekerja, bekerja dan bersinergi, yakinlah bangsa kita sanggup mengemban amanat untuk memberikan hak asasi atas pangan bagi setiap warga negaranya, dan terwujud apa yang menjadi gambaran tanah kita tanah surga. Semoga!
*Artikel ini telah dipublikasikan di dalam Buku Pangan Indonesia Berkualitas, PATPI, 2018, dan dapat diakses melalui http://reader.mercubuana-yogya.ac.id/index.php/display/file/17270/1/
Daftar Pustaka
- Food and Agriculture Organization of the United Nations. 2017. The State of Food Security and Nutrition in the World 2017. Building Resilience for Peace and Food Security. Rome.
- Peraturan Menteri Kesehatan RI no 41 tahun 2104 tentang Pedoman Gizi Seimbang.
- The Economist Intelligence Unit. 2017. Global Food Security Index 2017. Measuring Food Security and the Impact of Resource of Risks. Sponsored by Dupont.
- The Economist Intelligence Unit. 2016. Global Food Security Index 2016. An Annual Measure of the State of Global Food Security. Sponsored by Dupont.
- Nauli, D. Z. 2107. Menggenjot Konsumsi Ikan. Koran Jakrta, Senin 27/11/2017. Diakses 1 Januari 2018 dari http://www.koran-jakarta.com/menggenjot-konsumsi-ikan/